Pengertian Ilmu Syari
PENGERTIAN ILMU SYAR’I
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله
Secara bahasa اَلْعِلْمُ (al-‘ilmu) adalah lawan dari اَلْجَهْلُ (al-jahl atau kebodohan), yaitu mengetahui sesuatu sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, dengan pengetahuan yang pasti.
Secara istilah dijelaskan oleh sebagian ulama bahwa ilmu adalah ma’rifah (pengetahuan) sebagai lawan dari al-jahl (kebodohan). Menurut ulama lainnya ilmu itu lebih jelas dari apa yang diketahui.
Adapun ilmu yang kita maksud adalah ilmu syar’i, yaitu ilmu yang diturunkan oleh Allah Ta’ala kepada Rasul-Nya berupa keterangan dan petunjuk. Maka, ilmu yang di dalamnya terkandung pujian dan san-jungan adalah ilmu wahyu, yaitu ilmu yang diturunkan oleh Allah saja.[1] Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ وَإِنَّمَا أَنَا قَاسِمٌ وَاللهُ يُعْطِي، وَلَنْ تَزَالَ هَذِهِ الْأُمَّةُ قَائِمَةً عَلَى أَمْرِ اللهِ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ.
“Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, Dia akan menjadikannya faham tentang agamanya. Sesungguhnya aku hanyalah yang membagikan dan Allah-lah yang memberi. Dan ummat ini akan senantiasa tegak di atas perintah Allah, tidak akan membahayakan mereka orang-orang yang menyelisihi mereka hingga datangnya keputusan Allah (hari Kiamat).”[2]
Imam al-Auza’i (wafat th. 157 H) rahimahullaah mengatakan, “Ilmu adalah apa yang berasal dari para Shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Adapun yang datang bukan dari seseorang dari mereka, maka itu bukan ilmu.”[3]
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullaah mengatakan, “Ilmu adalah mengetahui sesuatu dengan pengetahuan yang sebenarnya”.
Tingkatan ilmu pada seseorang ada enam tingkatan:
Pertama: Al-‘Ilmu yakni mengetahui sesuatu sesuai dengan keadaan yang pasti dan yang sebenarnya dengan pengetahuan.
Kedua: Al-Jahlul basith yakni tidak mengetahui sesuatu sama sekali.
Ketiga: Al-Jahlul murakkab yakni mengetahui sesuatu tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Disebut murakkab karena pada orang tersebut ada dua kebodohan sekaligus, yaitu bodoh karena ia tidak mengetahui yang sebenarnya dan bodoh karena beranggapan bahwa dirinya tahu padahal sebenarnya ia tidak tahu.
Keempat: Al-Wahm yakni mengetahui sesuatu dengan kemungkinan salah lebih besar daripada benarnya.
Kelima: Asy-Syakk yakni mengetahui sesuatu yang kemungkinan benar atau salahnya sama.
Keenam: Azh-Zhann yakni mengetahui sesuatu yang kemungkinan benarnya lebih besar daripada salahnya.
Sedang ilmu itu terbagi menjadi dua, dharuri dan nazhari. Dharuri yaitu pengetahuan yang dapat diperoleh secara langsung tanpa memerlukan penelitian dan dalil, seperti pengetahuan bahwa api itu panas. Nazhari yaitu pengetahuan yang hanya bisa diperoleh dengan cara melakukan penelitian dan dengan dalil, misalnya pengetahuan tentang wajibnya niat dalam berwudhu’.”[4]
Adapun jika dilihat dari sudut pembebanannya (kewajibannya) kepada seorang Muslim, maka ilmu syar’i ini terbagi menjadi dua.
Pertama: ‘Ilmu ‘aini yakni ilmu yang wajib diketahui dan dipelajari oleh setiap Muslim dan Muslimah, contohnya ilmu tentang iman, thaharah (bersuci), shalat, puasa, zakat –apabila telah memiliki harta yang mencapai nishab dan haul—, haji ke Baitullah bagi yang mampu, dan segala apa yang telah diketahui dengan pasti dalam agama dari berbagai perintah dan larangan. Tidaklah anak-anak yang menginjak dewasa ditanya tentang ilmu ini, melainkan mereka mengetahuinya.
Kedua: ‘Ilmu kifa-i yakni ilmu yang tidak wajib atas setiap Muslim untuk mengetahui dan mempelajarinya. Apabila sebagian dari mereka telah mengetahui dan mempelajarinya, maka gugurlah kewajiban atas sebagian yang lainnya. Namun, apabila tidak ada seorang pun dari mereka yang mengetahui dan mempelajarinya padahal mereka sangat membutuhkan ilmu tersebut, maka berdosalah mereka semuanya. Contohnya adalah menghafalkan Al-Qur-an, ilmu qira’at, ilmu waris, ilmu hadits, mengetahui halal dan haram, dan yang sejenis-nya. Jenis ilmu ini tidak wajib dipelajari oleh setiap individu Muslim dan Muslimah, tetapi cukup dilakukan sebagian mereka.[5]
[Disalin dari buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga “Panduan Menuntut Ilmu”, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO BOX 264 – Bogor 16001 Jawa Barat – Indonesia, Cetakan Pertama Rabi’uts Tsani 1428H/April 2007M]
_______
Footnote
[1] Lihat Kitaabul ‘Ilmi (hal. 13), karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullaah, cet. Daar Tsurayya lin Nasyr, th. 1420 H.
[2] Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (I/306, II/234, IV/92, 95, 96), al-Bukhari (no. 71, 3116, 7312), dan Muslim (no. 1037), lafazh ini milik al-Bukhari dari Shahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallaahu ‘anhuma.
[3] Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/618, no. 1067).
[4] Syarah Tsalaatsatil Ushuul (hal. 18-19).
[5] Lihat kitab Thariiq ilal ‘Ilmi as-Subulun Naaji’ah li Thalabil ‘Uluumin Naafi’ah (hal. 18-19), karya ‘Amr bin ‘Abdul Mun’im Salim hafizhahullaah.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2308-pengertian-ilmu-syari.html